DKV UNPAS Bandung

Arakanlebah, Komunitas DKV UNPAS Bandung

Design thinking ala Nielsen


Sejak kapan istilah "Design Thinking" populer? Adalah Tim Brown, yang mengatakan bahwa profesi desain disibukkan dengan menciptakan objek yang bagus dan modis -- bahkan ketika isu mendesak seperti akses air bersih menunjukkan butuh perhatian lebih besar. 

Dia pun menyerukan pergeseran ke "pemikiran desain" yang lokal, kolaboratif, dan partisipatif. Dalam presentasinya di TED, ia mendesak desainer untuk berpikir besar, mengubah praktik dari menciptakan objek ke menggabungkan desain, bisnis, dan studi sosial untuk memecahkan masalah besar di dunia nyata. 

"Saya ingin berbicara sedikit pagi ini tentang apa yang terjadi jika kita beralih dari 'design' ke 'design thinking'. Ini (di layar) adalah proyek pertama yang pernah saya kerjakan, kira-kira 25 tahun lalu. Menghadapi mesin pertukangan, atau setidaknya sebagian dari itu, tugas saya adalah membuat benda ini lebih modern, lebih mudah digunakan," ujarnya membuka presentasi di TED.

"Saya pikir, pada saat itu, saya melakukan pekerjaan yang cukup bagus. Sayangnya, tidak lama kemudian perusahaan tersebut gulung tikar," imbuhnya. 

Kasus-kasus seperti yang dicontohkannya, bukan satu-dua berlaku di dunia nyata. Ia pun berpikir lebih jauh tentang desain, dan menyebutnya "...fenomena yang relatif baru, dan benar-benar muncul di paruh kedua abad ke-20 ketika desain menjadi alat konsumerisme." 

Ketika berbicara tentang desain hari ini, kita sering berbicara tentang produk seperti barusan. Saat apa yang dianggap sebagai desain tidak terlalu penting -- sekadar membuat segala sesuatunya lebih menarik, membuatnya lebih mudah digunakan, membuatnya lebih ramah pasar.  

"Menyenangkan? Ya. Diinginkan? Mungkin. Penting? Kayaknya nggak juga," katanya. Silakan tonton rekaman videonya di bawah ini yang dibuat pada 2009 silam, lebih dari 10 tahun silam.


"Jadi mengapa 'design thinking'?" serunya. Karena memberi kita cara baru untuk mengatasi masalah. Alih-alih menggunakan pendekatan konvergen yang biasa dilakukan—membuat pilihan terbaik dari alternatif yang tersedia—design thinking mendorong mengambil pendekatan yang berbeda, mengeksplorasi alternatif baru, solusi baru, ide-ide baru yang belum ada sebelumnya. 

Namun sebelum menuju proses divergensi itu, ada langkah awal yang cukup penting. Pertanyaannya adalah, "Apa yang sedang kita jawab? Seperti apa design brief-nya?" Sekarang bayangkan situasi seperti ini: Bagaimana meningkatkan akses ke air minum yang aman bagi masyarakat termiskin di dunia, dan pada saat yang sama mendorong inovasi di antara penyedia air lokal?

Tim Brown menceritakan proyeknya bersama Acumen Fund, proyek yang didanai Bill and Melinda Gates Foundation. Alih-alih meminta sekelompok desainer Amerika datang dengan ide-ide baru yang mungkin cocok atau tidak, mereka mengambil pendekatan yang lebih terbuka, kolaboratif, dan partisipatif. 

Mereka menggabungkan desainer dan pakar investasi dengan 11 organisasi air di seluruh India. Dan melalui lokakarya, mereka mengembangkan produk, layanan, dan model bisnis baru yang inovatif.

Bagi Tim, berfokus pada kebutuhan manusia, menggunakan prototipe untuk menggerakkan ide secara cepat, mendayagunakan proses dari tangan desainer, dan melibatkan komunitas secara partisipatif, kita dapat menjawab pertanyaan yang lebih besar dan lebih menarik. 

Dengan design thinking, kita—khususnya para desainer—bisa ikut menyelamatkan dunia. Tengok saja kasus yang diangkat Droga5. Mereka mempraktikkan apa yang disebut Tim sebagai "desain yang penting, bukan sekadar menyenangkan atau dinginkan".

Yang populer tentang design thinking hari ini

"Design Thinking" atau "berpikir mendesain" adalah metodologi yang berfokus pada solusi kreatif untuk pemecahan masalah, berbasis inovasi, dan berpusat pada khalayak. Pemenang Hadiah Nobel Herbert A. Simon pertama kali menyebut "design thinking" dalam bukunya The Sciences of the Artificial (1969) dan menyumbangkan banyak ide untuk prinsip-prinsipnya. 

Nilai "design thinking" ditentukan sebagai kekuatan yang mendorong peningkatan kualitas. Dengan pemikiran desain, desainer memiliki kebebasan untuk menghasilkan solusi inovatif. Tim memperoleh wawasan yang sebelumnya sulit diakses, dan menerapkan metode untuk membantu menemukan jawaban inovatif.

Para desainer menggunakan pemikiran desain untuk mengatasi masalah yang tidak jelas/tidak diketahui karena mereka dapat membingkai ulang masalah ini dengan cara yang berpusat pada manusia, serta berfokus pada apa yang paling penting bagi pengguna.

Interaction Design Foundation menguraikan design thinking dalam lima tahapan untuk mencapainya. Gagasan ini lahir dari Institut Desain Hasso Plattner di Stanford, yang menggambarkan design thinking dengan cara pandang bisnis.

Tahap-1: Berempati (Empathize). Empati artinya mencoba memahami perasaan atau pengalaman orang lain. Desainer harus mengesampingkan asumsinya sendiri tentang dunia, dan mendapatkan wawasan nyata dari pengguna dan tentang kebutuhan mereka.

Tahap-2: Menentukan (Define). Siapapun penggunanya, kebutuhan dan permasalahan mereka lalu dinyatakan atau dideklarasikan secara gamblang. Definisi ini disebut "pernyataan masalah". Anda dapat membuat persona untuk membantu supaya tetap berpusat pada manusia—sebelum melanjutkan ke pembuatan ide. 

Tahap-3: Bergagas (Ideate). Pengetahuan yang kuat dari dua fase pertama membantu untuk mulai "berpikir bebas", mencari cara alternatif dalam melihat masalah dan mengidentifikasi solusi inovatif untuk pernyataan masalah yang telah dibuat. Brainstorming, biasanya jadi metode yang lumrah.

Tahap-4: Prototipe (Prototype). Tahap untuk melakukan percobaan. Tujuannya mengidentifikasi solusi terbaik untuk setiap masalah yang ditemukan. Tim harus menghasilkan beberapa versi produk dalam bentuk miniatur, yang murah, agar dapat melakukan eksplorasi lebih lanjut.

Tahap-5: Uji (Test). Evaluator secara ketat menguji prototipe. Meskipun ini fase terakhir, design thinking bersifat iteratif: Tim dapat menggunakan hasil ujicoba untuk mendefinisikan kembali masalah lebih lanjut. Jadi, Anda dapat kembali ke tahap sebelumnya untuk melakukan iterasi, perubahan, dan penyempurnaan.

Design thinking dan desain berorientasi manusia

Kalau kita eksplorasi lebih lanjut tentang materi ini, akan muncul pula Human-Centered Design seperti yang digagas Ideo.org. Di sana, Anda akan temukan penjelasan bahwa "desain yang berpusat pada manusia" adalah pendekatan kreatif untuk pemecahan masalah. 

Ini adalah proses yang dimulai dengan memahami kalayak dan diakhiri dengan solusi baru untuk memenuhi kebutuhan mereka. Desain yang berpusat pada manusia adalah membangun empati yang mendalam pada khalayak; menghasilkan banyak ide; membangun banyak prototipe; berbagi apa yang telah Anda buat dengan khalayak; dan menempatkan solusi baru yang inovatif di dunia.

Tidak seperti versi Interaction Design Foundation, versi Ideo terdiri dari tiga fase. Dalam Fase Inspirasi, Anda akan belajar langsung dari orang-orang yang Anda rancang, membenamkan diri dalam kehidupan mereka dan memahami kebutuhan mereka secara mendalam. 

Fase Ideation Anda akan memahami apa yang Anda pelajari, mengidentifikasi peluang untuk desain, dan membuat prototipe solusi yang mungkin. Lalu dalam Fase Implementasi Anda akan menghidupkan solusi, dan akhirnya mewujudkannya. Anda bisa yakin solusi itu berhasil karena telah menempatkan orang-orang yang ingin dilayani sebagai inti dari proses tersebut.

Apa yang baru dari semua proses di atas? Seperti Tim bilang di awal presentasinya di TED, ia ingin maju dari sekadar design menjadi design thinking. Pahami bahwa design lahir dari dunai kesenimanan. Sejarahnya berdampingan dengan gerakan seni rupa yang dikuasai oleh para seniman.

Pergeseran desain dari seniman-sentris menjadi khalayak-sentris, bisa dibilang menjadi dasar perubahan ini. Design-thinking tidak benar-benar baru, tetapi secara metodologi menunjukkan perubahan. Dulu, desainer bekerja di belakang meja. Tim, mengajak desainer bekerja bersama khalayak. Partisipatif.

Apakah ini berarti filosofi desain sudah bergeser? Tidak juga. Coba simak cara berpikir Bauhaus. Bauhaus bukan sekadar lembaga edukasi, tapi bersifat ‘idelogis’. Mereka berpandangan seni harus bertemu dengan keinginan masyarakat, tiada batasan antara seni murni (fine arts) dan seni terapan (applied arts).

Pada awal 1900-an, suami dan istri desainer Charles dan Ray Eames berlatih "belajar sambil melakukan", menjelajahi berbagai kebutuhan dan kendala sebelum merancang kursi Eames mereka, yang diproduksi hingga sekarang.

Penjahit tahun 1960-an Jean Muir terkenal dengan pendekatan "akal sehat" untuk desain pakaian, menekankan pada bagaimana pakaian buatannya terasa seperti yang tampak saat dipakai orang lain. Para desainer ini adalah inovator pada masanya.

Jadi, berpikir tentang manusia, atau tentang khalayak pengguna desain, sebenarnya nggak baru-baru amat. Konsep itu sudah lahir sejak lahirnya desain. Secara historis, desain jadi egois ketika dikangkangi pikiran bisnis, diterapkan hanya untuk kepentingan estetika produk. Akibatnya, perusahaan menciptakan solusi yang gagal memenuhi kebutuhan nyata pelanggan mereka.

Design thinking, seperti membalikkan sejarah. Kita diingatkan pada William Morris, yang pada 1888 berusaha mengoptimalkan keterbacaan huruf sambil mempertahankan integritas estetikanya. Atau, pada manifesto 'First Things First', yang ditulis pada 1964 di London oleh Ken Garland.